tastetrip.id – Fenomena cancel culture kembali menjadi sorotan banyak kalangan di Indonesia, terutama karena dampaknya bagi individu dan figur publik yang terlibat. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak kejadian di mana orang-orang yang dianggap melanggar norma sosial telah ‘dibatalkan’ dari platform sosial.
Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa cancel culture mampu menegakkan keadilan sosial dengan memberikan suara kepada mereka yang terpinggirkan. Namun, di sisi lain, ada juga yang menilai bahwa fenomena ini bisa menjadi bentuk budaya pembatalan yang berlebihan.
Definisi Cancel Culture
Cancel culture atau budaya pembatalan merupakan fenomena di mana individu meminta agar seseorang, biasanya seorang publik figur, dihukum atau dihapus dari platform sosial akibat perilaku atau ucapan yang dinilai tidak pantas. Fenomena ini sering kali terjadi di media sosial, di mana suara kolektif bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap reputasi seseorang dalam waktu singkat.
Dengan meningkatnya penggunaan media sosial, cancel culture semakin mudah terwujud. Reaksi cepat dari publik sering kali menciptakan kondisi di mana tokoh publik harus menghadapi konsekuensi langsung dari ucapan atau tindakan mereka.
Dampak Positif Cancel Culture
Satu sisi positif dari cancel culture adalah kemampuannya untuk memberikan suara kepada mereka yang terpinggirkan. Dalam banyak kasus, individu yang merasa disakiti oleh perkataan atau tindakan tokoh publik bisa mendapatkan dukungan dari masyarakat untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka.
Sebagai contoh, banyak kampanye di media sosial yang berhasil menuntut pertanggungjawaban dari para pelaku tindakan buruk. Ini menciptakan kesadaran lebih lanjut akan nilai-nilai moral dan etika yang perlu ditegakkan di masyarakat.
Dampak Negatif Cancel Culture
Di sisi lain, ada dampak negatif yang tidak bisa diabaikan, yang meliputi tindakan berlebihan yang dapat mengarah pada pengucilan atau pembatasan suara. Situasi ini berpotensi menjadikan perdebatan semakin polar dan menciptakan ketidaknyamanan di lingkungan sosial.
Banyak orang merasa takut untuk berbicara atau menyatakan pendapat asli mereka karena risiko dibatalkan. Hal ini bisa menjadi penghalang serius bagi dialog konstruktif dan kebebasan berekspresi di masyarakat.